This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions..

Tampilkan postingan dengan label Normatif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Normatif. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 September 2013

DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN DEMOKRASI


1.   Pemahaman Tentang Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh Pemerintah negara tersebut Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol  berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas.
Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap Hak hak asasi manusia. Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
1.2 Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli
Seiring dengan perkembangan zaman, sehingga perkembangan sistem demokrasi juga banyak diterapkan diberbagai negara-negara di dunia. Perkembangan demokrasi yang semakin pesat juga telah memunculkan perkembangan pengertian dari pada demokrasi itu sendiri. Pada bagian ini akan dijelaskan kepada Anda, yaitu tentang pengertian demokrasi menurut para ahli yang secara lengkapnya bisa dilihat dibawah ini:
1.    Menurut H. Harris Soche (Yogyakarta : Hanindita, 1985)
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekusaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat atau diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah.
2.    Menurut Hannry B. Mayo
Kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana di mana terjadi kebebasan politik.
3.    Menurut International Commission of Jurist
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga Negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggungjawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.
4.    Menurut C.F. Strong
Demokrasi adalah Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewan dari masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang menjamin pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya pada mayoritas tersebut.
5.    Menurut Samuel Huntington
Demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara.
6.    Menurut Merriam, Webster Dictionary
Demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.

1.3 Konsep Demokrasi
Demokrasi adalah sebuah bentuk kekuasaan (kratein) dari, oleh rakyat, dan untuk rakyat (demos). Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara. Demos menyiratkan makna diskriminatif atau bukan rakyat keseluruhan, tetapi hanya populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal mengontrol akses ke sumber–sumber kekuasaan dan bisa mengklaim kepemilikan atas hak–hak prerogratif dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan publik atau pemerintahan.
a.         Konsep Demokrasi DiIndonesia
Pendahuluan Sejak Indonesia merdeka, melalui UUD 1945 NKRI menganut sistem demokrasi, Yaitu demokrasi perwakilan (representative democracy) Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi yang Demokrasi liberal (parlementer murni) {1950 – 1959}, Demokrasi terpimpin {1959 – 1966}, Demokrasi Pancasila (Orba) {1966 – 1998}, Demokrasi Reformasi {1998 – Sekarang).
 Unsur-Unsur Demokrasi Perwakilan Keterangan Unsur Gagasan seorang manusia (Filosuf) yang bernama JJ. Rousseau (Abad XIX) Sumbernya Sebagai pengganti Ajaran Kedaulatan Tuhan (Teokrasi) yang diselewengkan di Eropa pada Abad XIX Sejarahnya Mencapai kebaikan kehidupan bersama di dalam wadah suatu negara, khususnya dalam tata hubungan antara manusia sebagai warganegara dengan negaranya. Tujuannya Keputusan tertinggi yang pasti benar & baik adalah yang ditentukan oleh mayoritas manusia/warganegara yang dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan keputusan yang dibuat oleh minoritas manusia/warganegara pasti salah & tidak baik. Mekanismenya Partai Politik, berdasarkan Sistem Dua Partai atau Sistem Banyak Partai. Sarananya Model Demokrasi yang dilaksanakan sangat tergantung pada 2 (dua) aspek, yaitu : (1). Sistem pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara, dan (2). Sifat hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Pembedanya Vox populi vox dei = Suara rakyat (mayoritas) adalah suara Tuhan, dan Suara yang minoritas adalah suara setan.
Mottonya Demokrasi Indonesia model demokrasi yang paling tepat untuk diterapkan pada suatu negara adalah yang sejalan dengan ideologi negara yang bersangkutan Ideologi negara Indonesia adalah Pancasila maka upaya mencari model demokrasi yang tepat tentunya harus diawali dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami Pancasila yang merupakan ideologi negara Namun, sampai saat ini Pancasila sebagai Ideologi Negara dan sumber dari segala sumber dalam kehidupan kenegaraan belum memiliki kerangka pemahaman yang baku dan ajeg tentang demokrasi, atau singkatnya belum memiliki “Teori Demokrasi Pancasila” .
Mencari jalan alternatif Demokrasi Pancasila PENELITIAN SOSIAL Untuk mengenali Nilai2 Dasar Bersama yang secara aktual hidup & dianutoleh segenap (mayoritas) rakyat Indonesia Tentang Nilai Demokrasi Kemungkinan/Alternatif HASIL PENELITIAN SOSIAL Nilai2 Pancasila masih dianut sesuai dengan aselinya Nilai2 Pancasil yang dianut telah berubah sesuai perkembangan jaman Rakyat Indonesia telah menganut Nilai2 Dasar Baru yang berbeda dengan Pancasila Rakyat Indonesia tidak memiliki Nilai2 Dasar Bersama lagi (Vakum Ideologi) Tahapan Perumusan Seluruh Nilai2 Dasar Bersama (termasuk nilai2 tentang Demokrasi) Tahap Pembentukan Pemahaman/Teori Demokrasi Pancasila Tahap Pembentukan Pemahaman/Teori Demokrasi Indonesia Tahap Penetapan Model Demokrasi Pancasila Tahap Penetapan Model Demokrasi Indonesia ASAS 2 HUKUM MATERIIL Dalam kondisi ini belum bisa dilaku-kan penetapan Model Demokrasi, karena Bangsa & NKRI berada pada Situasi Transisi me-nuju ke-3 Alternatif : 1. Mayoritas Rakyat sepakat kembali ke Nilai2 Dasar Panca-sila.(Bangsa & NKRI survive). 2. Mayoritas Rakyat sepakat untuk men- dukung Nilai2 Dasar Bersama yang Baru/Non-Pancasila. (Ter jadi proses pembentukan Bangsa & Negara Baru). 3. Rakyat Indonesia tidak berhasil ber-sepakat menetap-kan Nilai2 Dasar Ber sama. (Terjadi pro-ses pembubaran Bangsa & NKRI). Muchyar Yara, SH.,MH. Staf Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum – Universitas Indonesia Makalah Pembicara Panel pada Simposium “ Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani” Yang diselenggarakan oleh Komisi Kebudayaan dan Komisi Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Bertempat di Lembaga Biologi Molekuler EIJKMAN, Jalan Diponogoro 69, Jakarta Pusat 10430 Selasa, 8 Agustus 2006.

Senin, 09 September 2013

Pengertian Etos Kerja



Menurut kamus, perkataan “etos” yang berasal dari bahasa Yunani (ethos) bermakna watak atau karakter. Secara lengkapnya, pengertian etos ialah karakteristik dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan, dan seterusnya, yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Dari perkataan “etos” terambil pula perkataan “etika” dan “etis” yang merujuk kepada makna “akhlaq” atau bersifat “akhlaqi”, yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa.[2] Juga dikatakan bahwa “etos” berarti jiwa khas suatu kelompok manusia,[3] yang dari jiwa khas itu berkembang pandangan bangsa tersebut tentang yang baik dan yang buruk, yakni, etikanya.
Secara sederhana, etos dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu masyarakat. Perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan norma sosial masyarakat itu.[4] Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan perilaku diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpancar dalam kehidupan masyarakat.[5] Karena etos menjadi landasan bagi kehidupan manusia, maka etos juga berhubungan dengan aspek evaluatif yang bersifat menilai dalam kehidupan masyarakat.[6] Weber mendefinisikan etos sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku seseorang, sekelompok atau sebuah institusi (guiding beliefs of a person, group or institution). Jadi, etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai hal yang baik dan benar dan mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka.[7]
Adapun indikasi-indikasi orang atau sekelompok masyarakat yang beretos kerja tinggi, menurut Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama, ada tiga belas sikap  yang menandai hal itu: (1) Efisien; (2) Rajin; (3) Teratur; (4) Disiplin atau tepat waktu; (5) Hemat; (6) Jujur dan teliti; (7) Rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan; (8) Bersedia menerima perubahan; (9) Gesit dalam memanfaatkan kesempatan; (10) Energik; (11) Ketulusan dan percaya diri; (12) Mampu bekerja sama; dan, (13) mempunyai visi yang jauh ke depan.[8]
Menurut Sarsono, Konfusionisme memiliki konsep tersendiri berkenaan dengan orang-orang yang aktif bekerja, yang ciri-cirinya antara lain (1) Etos kerja dan disiplin pribadi; (2) Kesadaran terhadap hierarki dan ketaatan; (3) Penghargaan pada keahlian; (4) Hubungan keluarga yang kuat; (5) Hemat dan hidup sederhana; (6) Kesediaan menyesuaikan diri.[9]
Beberapa indikasi dan ciri-ciri dari etos kerja yang terefleksikan dari pendapat-pendapat tersebut di atas, secara universal cukup menggambarkan segi-segi etos kerja yang baik pada manusia, bersumber dari kualitas diri, diwujudkan berdasarkan tata nilai sebagai etos kerja yang diimplementasikan dalam aktivitas kerja.
Etos Kerja dalam Kajian Budaya dan Agama
Masalah etos kerja memang cukup rumit. Nampaknya tidak ada teori tunggal yang dapat menerangkan segala segi gejalanya, juga bagaimana menumbuhkan dari yang lemah ke arah yang lebih kuat atau lebih baik. Kadang-kadang nampak bahwa etos kerja dipengaruhi oleh sistem kepercayaan, seperti agama, kadang-kadang nampak seperti tidak lebih dari hasil tingkat perkembangan ekonomi tertentu masyarakat saja.
Salah satu teori yang relevan untuk dicermati adalah bahwa etos kerja terkait dengan sistem kepercayaan yang diperoleh karena pengamatan bahwa masyarakat tertentu–dengan sistem kepercayaan tertentu–memiliki etos kerja lebih baik (atau lebih buruk) dari masyarakat lain–dengan sistem kepercayaan lain. Misalnya, yang paling terkenal ialah pengamatan seorang sosiolog, Max Weber, terhadap masyarakat Protestan aliran Calvinisme, yang kemudian dia angkat menjadi dasar apa yang terkenal dengan “Etika Protestan”.[10]
Para peneliti lain – mengikuti cara pandang Weber – juga melihat gejala yang sama pada masyarakat-masyarakat dengan sistem-sistem kepercayaan yang berbeda, seperti masyarakat Tokugawa di Jepang (oleh Robert N. Bellah), Santri di Jawa (oleh Geertz) dan Hindu Brahmana di Bali (juga oleh Geertz), Jainisme dan Kaum Farsi di India, kaum Bazari di Iran, dan seorang peneliti mengamati hal yang serupa untuk kaum Isma’ili di Afrika Timur, dan sebagainya. Semua tesis tersebut bertitik tolak dari sudut pandang nilai, atau dalam bahasa agama bertitik tolak dari keimanan atau budaya mereka masing-masing.[11]
Kesan bahwa etos kerja terkait dengan tingkat perkembangan ekonomi tertentu, juga merupakan hasil pengamatan terhadap masyarakat-masyarakat tertentu yang etos kerjanya menjadi baik setelah mencapai kemajuan ekonomi tertentu, seperti umumnya negara-negara Industri Baru di Asia Timur, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Kenyataan bahwa Singapura, misalnya, menunjukkan peningkatan etos kerja warga negaranya setelah mencapai tingkat perkembangan ekonomi yang cukup tinggi. Peningkatan etos kerja di sana kemudian mendorong laju perkembangan yang lebih cepat lagi sehingga negara kota itu menjadi seperti sekarang.[12]
Pada dekade tahun 80-an, di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia pun tumbuh minat yang cukup besar untuk membuktikan kebenaran tesis Weber di atas. Bahkan pada waktu itu pernah muncul suatu gagasan untuk membangun suatu system teologi yang dapat mendorong keberhasilan proses pembangunan di Indonesia. Pada saat itu suatu gagasan yang disebut dengan “Teologi Pembangunan”, bahkan di Kaliurang Yogyakarta, pernah diadakan seminar tenatang Teologi Pembangunan ini.
Gagasan tentang Teologi Pembangunan ini dilandasi oleh asumsi-asumsi: (1) sistem teologi yang dianut oleh umat Islam Indonesia belum mampu mendorong dan membangkitkan etos kerja yang tinggi; (2) umat Islam Indonesia mudah sekali menyerah ketika mengalami suatu kegagalan; (3) umat Islam Indonesia bersifat pasif, fatalis dan deterministik; serta asumsi-asumsi lainnya.[13]
Namun, karena masalah teologi sangat sensitif, akhirnya gagasan-gagasan yang pernah dicetuskan itu berakhir dengan tanpa  memperoleh rumusan yang jelas dan sistematis. Kalau kita mau mencermati dan mengkaji makna-makna yang terkandung dalam al-Quran dan Alsunnah, maka kita akan menemukan banyak sekali bukti, bahwa sesunguhnya ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras, dan bahwa ajaran Islam memuat spirit dan dorongan pada tumbuhnya budaya dan etos kerja yang tinggi. Kalau pada tataran praktis, umat Islam seolah-olah beretos kerja rendah, maka bukan sistem teologi yang harus dirombak, melainkan harus diupayakan bagaimana cara dan metode untuk memberikan pengertian dan pemahaman yang benar mengenai watak dan karakter esensial dari ajaran Islam yang sesungguhnya.